BAIKLAH, saya akan ceritakan kembali apa yang nenek saya dongengkan saat mati lampu. Tentang G30S/PKI. Tentu saja dengan versi beliau. Perlu dicatat beliau bukan sejarawan, tapi hanya rakyat biasa yang jadi saksi peristiwa itu. Jadi kalau agak beda dengan buku sejarah, ya maklum saja.
Beliau bilang PKI datang untuk menghancurkan Islam. Menanamkan paham yang bertentangan dengan Islam. Militer dengan sigap mencari, meringkus bahkan membunuh antek-antek PKI itu.
Militer tak pandang bulu, siapa pun yang tercatat sebagai PKI, langsung ditindak tegas. Tidak peduli itu perempuan bahkan anak-anaknya. Pertempuran, kekerasan, bahkan pembunuhan terjadi. Beliau melanjutkan banyak dari mayat-mayat mereka yang dibuang ke Sungai Citarum.
Saya bertanya, “Kenapa mereka (masyarakat) mau jadi anggota PKI?”
Nenek menjawab, dahulu pemimpin-pemimpin di daerah mereka mengiming-imingi dengan kesejahteraan apabila mereka masuk PKI. Masyarakat yang memang tidak mengenyam pendidikan akhirnya berhasil dibujuk. Tapi banyak juga di antara mereka yang tanpa sepengetahuannya didaftarkan jadi anggota PKI.
Hari itu, ujar nenek, tepatnya hari Sabtu 30 September, PKI melakukan kekerasan pada 7 tentara.
Nenek bilang, Ahmad Yani yang terparah. Dibunuh, dikuliti, diambil organnya. (O, saya miris sampe mau muntah mendengarnya) sebelum akhirnya dimasukan ke dalam sumur di Lubang Buaya bersama tentara lainnya.
Adapun kenapa Ahmad Yani menghadapi perlakuan yang lebih mengerikan, itu karena Ahmad Yani sendiri dikenal masyarakat sebagai seorang yang religius, dan penggagas Islam.
Selain peristiwa di Lubang Buaya, PKI juga menyerang AH. Nasution. Menewaskan anaknya Ade Irma Suryani. PKI menembak kaki Nasution hingga ia pincang.
Sejak itu perburuan PKI semakin gencar dilakukan dibawah komando Soeharto.
Nenek menyebutkan dua tokoh tinggi PKI, Bandrio, dan Untung, akhirnya tertangkap.
Semenjak itu (dan sampai saat ini) PKI dilarang di Indonesia.
Nenek juga menambahkan bahwa anak-anak PKI dilarang melanjutkan sekolah karena takut berpikir dan bisa merencanakan sesuatu untuk balas dendam.
Begitulah dongeng yang menemani saya saat mati lampu. Mohon dimaklum kalau ada perbedaan dengan buku-buku sejarah. Karena ini hanya sebatas cerita lisan sekadarnya.
Tapi ada yang perlu digarisbawahi, di mana ketika saya bertanya, “Nenek tau dari mana, kan Nenek gak di Jakarta waktu itu?”
Nenek saya menjawab, “Berita ini kan banyak beredar di koran-koran waktu itu.” [Dini Sri Mulyati]