dakwatuna.com – Tidak ada yang salah dengan sebuah pernikahan. Sama sekali tidak. Jika di tengahnya kelak kau temukan air mata, sungguh itulah pernikahan. Pun jika nanti kau hanya jumpai senyum dan tawa, juga sungguh, itulah pernikahan. Bahkan jika kau temukan keduanya silih berganti, maka sungguh itulah pernikahan. Kau percaya kan? Begitu pun aku.
Ketika jari manismu telah diisi cincin oleh pemilik yang sah, maka ketika itu sempurnalah hidupmu berubah. Ketika namamu tertuang dalam buku kecil bersanding erat dengan namanya, maka ketika itu jelaslah dirimu telah terikat dengannya. Dan ketika ayah-ibumu bukan lagi orang pertama yang kau jumpai saat bangun tidur, maka ketika itu berputarlah arah abdimu padanya.
Hubungan ini tidak semudah yang dibicarakan. Ikatannya bukan hanya pada dia yang kelak akan hidup bersamamu saja, tapi juga pada keluarganya. Tidak sebatas tali di antara manusia saja, tapi juga ketersambungan tanggung jawab terhadap Tuhan.
Sobat, prolog di atas sebenarnya hanya sedikit gambaran dari apa yang akan kita bahas bersama hari ini. Yup, tentu saja tidak terlepas dari kata pernikahan. Apa sih yang terpikirkan kalau kita dengar kata-kata “nikah”? Apakah cinta? Bahagia? Janji suci? Atau penderitaan? Masing-masing kita pasti punya definisi terhadap kata itu bukan? Nah, sekarang agar tidak berlama-lama dalam pendahuluan, saya akan coba menguraikan beberapa hal.
Menikah adalah sunah Rasullulah, semua tahu itu. Menikah dengan dia yang telah dipilihkan Allah untuk kita tentunya akan membuat hidup ini menjadi tentram dan bahagia. Akan indah rasanya jika bahtera rumah tangga yang kelak dibangun dipenuhi dengan kesejukan iman, ketekunan ibadah, dan kerendah hatian beramal. Akan sejuk rasanya jika kehidupan ini dikelilingi oleh orang-orang yang tulus mencintai kita, mengikat janji setia, dan bersama berjuang meraih surga-Nya. Namun sebenarnya semua tidak sampai disitu saja, tidak terbatas dikeinginan untuk menunaikan akad saja, karena setelahnya ada segudang amanah yang mesti dipegang erat, ada beribu tanggung jawab yang harus dilaksanakan, dan ada berbagai rintangan serta cobaan yang akan datang.
Membahas persiapan hati sebelum menikah, kesiapan mental, dan calon mungkin menjadi hal yang asyik untuk dibicarakan, namun dalam tulisan ini saya akan sedikit menjelaskan bukan bagian awal sebelum menikah, tapi fase dimana setelah ijab terucap dan kabul terkata. Saat tangan telah berada di bawah tangan, dan saat janji bukan lagi milik kita tapi telah berada dalam genggaman Allah SWT.
Pertama, jadilah pasangan yang sempurna untuk pasangannya. Memang tidak ada yang sempurna, namun ketika telah bersatu, maka anggaplah kekurangan pasangan itu sebagai pelengkap puzzle kesempurnaannya. Seorang suami bertanggung jawab penuh terhadap arah kehidupan keluarganya, mau dibawa kemana dan akan bagaimananya, maka suamilah yang menentukan. Kalau begitu, kepada siapakah sang suami mesti
bergantung? Kebanyakan orang pasti akan menjawab kepada sang istri yang tentu saja akan menjadi orang paling setia dalam mendukung dan menyertai suami. Benarkah? Tentu saja tidak. Si suami akan tidak mampu menjalankan tanggung jawab sebagai kepala keluarga jika istri yang menjadi tempat ia bergantung. Hanyalah Allah dan semestinya memang hanya Allah tempat sang suami menancapkan akar kehidupannya.
Namun sayangnya, kehidupan saat ini banyak menjelaskan bahwa sang suami pada umumnya bergantung pada istri, tidak pada Allah. Akibatnya kapal pengaruh samudera kehidupan mereka rapuh. Masih ingatkan kita jika wanita menjadi salah satu pelemah dalam keimanan seseorang? Makanya, istri itu seharusnya bukan tumpuan suami, tapi makhluk yang harus dilindungi dan dicintai.satu-satunya tumpuan hanyalah Allah. Libatkan Allah dalam mengasihi seseorang, meski itu pasangan hidup kita sendiri. karena jika tidak, maka akan banyak peluang setan untuk masuk dan merusak dinamika kehidpan rumah tangga kita. Jikalaulah memang tumpuan suami hanya istri, maka jangan salahkan kelak ditengah usia pernikahan suami akan mencari wanita lain sebagai sibiran pemuasnya, sebab dari awal dia telah salah dalam mengarahkan seluruh cintanya, yakni kepada wanita. Bukan pada Sang Pencipta wanita. Juga kelak jangan salahkan jika istri merasa berkuasa dan dapat selangkah berjalan di atas suami, karena istri telah membuat suami bertekuk lutut padanya.
Seperti halnya suami, sang istri pun haruslah mengatasnamakan Allah di balik cintanya pada suami. Agar kelak tujuan keluarga samara tidak keluar dari jalurnya. Intinya dari pembahasan yang awal ini adalah jangan mencintai seseorang melebih rasa cinta dan takut kita kepada Allah. Karena Allah menyukai orang-orang yang saling mencintai dan mengasihi karena Allah, bukan orang yang saling mencintai dan setia satu sama lain tapi tak melibatkan Allah di setiap lipatan perasaannya.
Kedua, setelah menikah, maka tanggung jawab terbesar kita adalah menjadi orang tua. Anak yang diberikan Allah adalah amanah yang menjadi saksi sejauh mana seseorang mampu mengarahkan dan menjaga amanah sebagai pasangan yang telah menikah. Akan kita bentuk seperti apa dan jadi apa anak, sepenuhnya telah Allah limpahkan hak veto itu kepada kita. Makanya, tidak gampang menjadi orang tua itu. Anak bagaikan kertas putih yang bersih, maka kelak kertas itu mau seperti apa warnanya, lukisan atau coretan apa yang terbentuk disana, orang tua yang akan mengendalikannya, tentu saja semua itu tetap dalam ketetapan dan ketentuan Allah. Hal pertama kelak yang harus ditanam kepada anak adalah pemahaman agama. Memahami Islam secara kaffah. Mengajarkan Alquran. Mengenal sejarah Rasul dan pejuang Islam.
Dunia ini sudah terlalu morat-marit. Terlambat menanamkan kebaikan, maka anak akan tumbuh menjadi manusia yang tidak bermoral. Tidak peduli dengan gejolak zaman, maka siap-siaplah, kelak anak akan menjadi manusia mode budak zaman. Ada beribu kasus anak di bawah umur hamil diluar nikah, anak yang terlibat prostitusi dan obat-obatan terlarang, anak yang bolos sekolah, dan lainnya. Namun maukah orang tua tau kesalahan terbesar apa yang dilakukan dan keburukannya akan menimpa kita, padahal sebagian besar orang menganggaphal ini sepele, yakni anak yang meninggalkan shalat. Sampai kapan pun, orang tua akan dimintai pertanggungjawabannya, mengapa sedari dulu tidak diajarkan, mengapa sedari dulu perkara ini dianggap sepele.
Semoga, sebelum menikah, kita memikirkan ini matang-matang. Indahnya mungkin diawal, setelahnya dituntut keseriusan kita dalam mengarungi bahtera kehidupan. Siapkah kita?