Seorang istri mengkonsultasikan masalah rumah tangganya kepada seorang psikolog muslimah. Ia menceritakan bahwa suaminya terlibat hubungan mesra dengan kawan wanitanya di dunia maya, seorang gadis muda belia. Ia juga bercerita bahwa sebagai istri, ia sudah menasehati suaminya bahwa hal tersebut berdosa dan menyakiti hatinya. Namun, sang suami malah semakin menutup diri terhadapnya, senang mengunci diri di kamar bersama komputernya. Meskipun secara nafkah dan tanggung jawab terhadap anak-anak, suami tetap memenuhinya.
Terluka, ya jelas saja ia terluka. Istri mana yang tidak kecewa manakala tahu bahwa suami yang ia cintai sedang menghianati cintanya, terang-terangan di hadapannya. Limbung, ya wajar saja. Bukankah sedikit banyak selama ini pria itulah yang menjadi labuhan perasaannya, sementara kini ia harus menata hatinya sendiri? Memposisikan kembali di mana seharusnya cintanya berada, mengevaluasi lagi dimanakah kesalahannya. Sementara tugas hariannya membersamai anak-anak dan mengurus urusan rumah seolah tak memberinya celah untuk ambruk walau sejenak. Keinginan untuk pergi dan berlari dari semua lelah hati ini terus berkecamuk dalam benaknya, jika saja tak ia pandang wajah-wajah lugu dan riang anak-anaknya.
Sang psikolog sangat mengerti apa yang dirasakan oleh kliennya, namun ia bertugas untuk membawa sang klien tetap dalam rasionalitasnya. Sang psikolog berkata, “Sebagaimana kenyataan yang harus kita hadapi Ibu, kita tak pernah bisa merubah seseorang jika memang orang tersebut tidak mau berubah, hal ini juga berlaku terhadap suami Ibu. Ada kemungkinan pula bahwa suami Ibu memang sedang mencari calon istri kedua. Jadi, sebaiknya Ibu harus menghentikan semua nasehat dan komplain Ibu terhadapnya, karena hal itu hanya akan membuatnya semakin menjauh.”
“Posisi istri memerlukan pembelaan dari pihak ketiga agar dapat sejajar dengan suaminya. Tapi bukankah hal ini belum mau Ibu lakukan? Ibu bilang tak ingin membawa masalah ini keluar dari dinding rumah Ibu. Jika demikian maka biarkan Allah yang bertindak, yakinlah siapa saja yang berbuat maksiat dan kezaliman tentu sudah Allah sediakan ganjarannya. Akan ada pedih yang sama, akan ada kesesakan yang serupa..” Sang klien terdiam, ada pilu yang mengiyakan semua kata-kata konselor bersahaja di hadapannya.
Psikolog itu kemudian melanjutkan, “Jadi, jika memang Ibu masih ingin mempertahankan rumah tangga Ibu dengan suami, Ibu harus mengazamkan dengan sungguh-sungguh tekad itu. Hal pertama, buatlah suami Ibu berpaling dari komputernya. Berat, ya tentu saja. Ibu memerlukan dua kali kesabaran untuk menempuh hal itu, bahkan mungkin kesabaran yang harus diperbaharui berulang-ulang. Pertama, Ibu harus sabar untuk mengikhlaskan perilaku suami yang tak mengindahkan perasaan Ibu. Caranya, serahkan pada Allah semua perilakunya, mengadulah padaNya sepuas-puasnya, dan terimalah musibah ini dengan ikhlas, berdoalah agar hal itu menjadi penggugur dosa Ibu dan semoga menjadi amalan yang tak terbatas pahalanya. Bukankah Ibu tahu bahwa pahala sabar itu tak terbatas?”
Air mata sang Ibu menganak sungai, tak mampu ia bendung, kedua tangannya menutup wajahnya, bahunya berguncang-guncang. Konselor muslimah itu berhenti sejenak, memberi kesempatan kliennya menumpahkan sesak dadanya.
“Mari istighfar Ibu.., tidaklah musibah yang menimpa kita melainkan karena dosa-dosa kita, dan istighfar akan membuka jalan keluar dan memberi kelapangan..” konselor itu beranjak dari kursinya, mengambil kursi di sebelah sang klien kemudian merangkulnya hingga tenang kembali.
“Bagaimana Ibu, kita lanjutkan kembali ya..” ujar psikolog itu setelah melihat kliennya sudah mampu mengontrol emosinya.
“Setelah Ibu mengikhlaskan semuanya, Ibu butuh kesabaran yang kedua untuk mengalihkan suami Ibu dari komputernya. Jalinlah komunikasi yang baik dengannya, libatkan ia dengan obrolan seputar rumah tangga Ibu berdua, tentang masa depan anak-anak, tentang rumah dan hal-hal yang dapat merekatkan hubungan Ibu dan suami, jangan pernah membahas gadis itu ketika bersama suami Ibu. Tunjukkan pesona halal Ibu.”
“Dan terakhir yang paling penting adalah Ibu harus meningkatkan kondisi ruhiyah Ibu, kedekatan Ibu dan ketergantungan Ibu pada Allah. Mengoptimalkan ibadah fardhiah in syaa Allah menjaga kestabilan diri dan kejernihan hati Ibu,” sang konselor mengambil jeda, sambil mengamati lekat wajah kliennya yang khusyu’menyimak penjelasannya sambil sesekali menyeka air matanya.
Konselor itu kemudian tersenyum sambil melanjutkan, “Dan pada sisi lain, tahukah Ibu, bahwa wanita yang memiliki kemandirian ruhiyah dan spiritual itu sangat menarik bagi seorang lelaki? Rebut kembali hati Ibu, rengkuh kembali suami Ibu. Ingatlah ada Allah di atas perjanjian pernikahan Ibu dan suami. Mohonlah pertolongan dan kemudahan pada Allah. Kalaupun pada akhirnya suami Ibu tetap ingin menikah lagi, semua upaya yang Ibu lakukan tak membuat Ibu rugi sama sekali, justru mungkin ia yang akan menyerahkan segenap prosesnya pada keridhaan Ibu sebagai istri.”
Ada harapan baru yang menyeruak dalam dadanya, harapan untuk masa depan keluarga yang lebih baik, menentramkan dan bahagia. (muslimahzone)