Alloh Ta’ala berfirman :
فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ
Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.
[QS. Asy-Syuro : 40]
Terapi dengan sikap mema’afkan (forgivness therapy) menurut para ahli klinis dan peneliti merupakan pendekatan baru untuk mengurangi amarah dan dapat memulihkan kesehatan emosional dan ragawi.
Menarik, mengapa sikap mema’afkan dapat menjadi terapi? Ternyata rumusnya dangat sederhana. Dengan mema’afkan, kita telah menghapus amarah terhadap orang lain, sebagaimana menggosokkan karet penghapus di atas kertas dan untuk membersihkan coretan yang salah dalam hidup kita. Ketika menggosokkan karet penghapus, pikiran kita tertuju pada lembaran tulisan yang diharapkan kembali menjadi putih bersih, bukan kepada orang yang menyebabkan terjadinya coretan.
Semua amarah yang ditekan masuk ke dalam jiwa akan menjadi noda dalam lembaran hidup kita. Dengan ditekan, kemarahan bukannya hilang, tetapi semakin menempati ruang tertentu dalam pikiran bawah sadar kita.
Selanjutnya, ia akan mewarnai seluruh hidup kita. Disukai atau tidak, sesuatu yang ditaruh di dalam pikiran bawah sadar kita akan mempengaruhi cara hidup kita, baik disengaja atau tidak. Kemarahan yang ditekan akan menjadi sebutir biji cabai yang kita letakkan di dalam pikiran kita. Apapun yang diucapkan oleh orang yang suka memendam kemarahan seringkali berasa pedas dan panas.
Pemahaman orang beriman tentang sikap mema’afkan sangatlah berbeda dari mereka yang tidak menjalani hidup dengan tuntunan keimanan. Meskipun banyak orang mungkin berkata bahwasanya mereka telah mema’afkan seseorang yang telah menyakitinya. Namun perlu waktu lama untuk membersihkan diri dari rasa benci dan marah dalam hati mereka. Sikap mereka cenderung menampakkan rasa marah tersebut.
Di lain pihak, sikap mema’afkan orang beriman bersifat tulus. Sebab, mereka tahu bahwasanya menusia diuji di dunia ini dan belajar dari kesalahan mereka. Mereka berlapang dada dan bersifat pengasih. Lebih dari itu, orang beriman dituntut untuk mampu mema’afkan walau berada pada pihak yang benar dan orang lain di pihak yag salah. Ketika mema’afkan, mereka tidak pandang kesalahan besar atau kecil, sengaja atau tidak disengaja, karena orang beriman tahu bahwa segala sesuatu terjadi menurut kehendak Alloh dan berjalan sesuai takdirNya. Oleh karena itu, mereka berserah diri dengan peristiwa tersebut dan tidak pernah terbelenggu oleh amarah.
Penelitian lain yang dilakukan oleh para ilmuwan Amerika membuktikan bahwa mereka yang mampu mema’afkan akan merasa lebih sehat, baik jiwa maupun raga. Orang-orang yang diteliti menyatakan bahwa penderitaan mereka berkurang setelah mema’afkan orang yang menyakiti mereka.
Penelitian tersebut menunjukkan bahwa orang yang belajar mema’afkan merasa lebih baik, tidak hanya secara bathiniah namun juga jasmaniah. Sebagai contoh, telah dibuktikan bahwa berdasarkan penelitian , gejala-gejala pada kejiwaan dan tubuh, seperti sakit punggung akibat stress, susah tidur dan sakit perut sangatlah berkurang pada orang-orang seperti ini.
Sifat mema’afkan adalah resep yang telah terbukti bagi kesehatan dan kebahagiaan, sifat pema’af memicu keadaan yang baik dalam pikiran, seperti harapan, kesabaran dan percaya diri dengan mengurangi kemarahan, penderitaan, lemah semangat dan stress. Sebaliknya, kemarahan yang dipelihara menyebabkan dampak ragawi yang dapat diamati pada diri seseorang, kemarahan jangka panjang dan berkelanjutan tidak akan berkesudahan. Maka setel ulanglah sistem pengaturan suhu di dalam tubuh agar selalu dalam sifat mema’afkan.