Saya menerima permintaan ceramah di sebuah acara akad nikah. Undangan yang mendadak. Pernikahan yang mendadak. Kedua mempelai memang mendadak menikah, lebih tepatnya terpaksa dinikahkan, setelah si wanita yang masih SMA itu (maaf) HAMIL DULUAN. Astaghfirullah…
Tak seperti khutbah nikah biasanya yang penuh keharuan dan membuat saya ikut menitikkan air mata bahagia, malam itu suasananya serasa hambar. Bahkan, sejak berangkat dari rumah menuju lokasi acara di Sidoarjo, saya banyak merenung, apa yang nanti mesti disampaikan? Pastinya saya ingin menumpahkan kemarahan. Marah pada dua anak muda itu, mengapa bisa bablas kayak gitu. Marah kepada para orang tua mempelai, kok bisa-bisanya mereka kecolongan, membiarkan anak-anaknya larut dalam pergaulan bebas.
Tapi, kini semua terlanjur. Nasi telah menjadi bubur. Semua yang terjadi tak bisa kembali. Ah, kalau begitu setidaknya acara akad nikah ini bisa menjadi wahana dakwah. Menceramahi orang tua mempelai yang sembrono, menasehati dua anak muda itu, juga mendakwahi para undangan yang hadir, agar kasus serupa tidak terjadi lagi menimpa keluarga mereka.
“Manusia berakal selalu berpikir dulu sebelum bertindak. Kalau tertarik kepada lawan jenisnya, dia akan menikahinya lebih dulu. Sedangkan binatang tidak. Ayam jantan langsung mengawini ayam betina, tak peduli di mana tempatnya. Maka, kalau ada lelaki dan perempuan melakukan hubungan sebelum mereka menikah, kelakuannya tak ubahnya binatang”. Saya berceramah dengan kalimat tegas namun datar, sambil menahan diri agar tidak emosional. Di akhir acara, ibu si mempelai wanita berkomentar pendek. “Ceramah yang heroik”, katanya.
Ketertarikan kepada lawan jenis merupakan kebutuhan yang sifatnya naluriah saja, yang bila tidak dipenuhi hanya akan menyebabkan kegelisahan. Ini berbeda dengan kebutuhan jasmani seperti makan dan minum yang memang harus dipenuhi, karena kalau tidak dipenuhi dalam jangka tertentu bisa menyebabkan kematian.
Faktor pemicunya pun berbeda. Pemicu kebutuhan jasmani muncul secara otomatis dari dalam, misalnya ingin makan ya karena sedang lapar. Sementara ketertarikan pada lawan jenis (gharizah nau’, naluri mempertahankan jenis) pemicunya tidak otomatis muncul dari dalam, melainkan karena ada rangsangan dari luar; misalnya karena melihat sosok wanita cantik, atau meski tidak melihat langsung tapi membayangkannya. Karena pemicunya dari luar, bila perangsangnya tidak ada, gharizah juga tidak muncul. Makanya Islam memerintahkan kita untuk menundukkan pandangan (ghaddhul bashar), agar rangsangan dari luar tersebut tidak muncul.
Para bujangan yang nafsunya tengah menggebu, kalau sudah merasa mampu menikah, ya lekaslah menikah. Kata Nabi, “Fainnahu aghadhdhu lil bashar, wa ahshanu lil farji (karena pernikahan itu dapat menundukkan pandangan dan lebih dapat menjaga kemaluan)”. Tapi, jika belum mampu ya berpuasalah, karena puasa mampu mengekang syahwat.
Jangan kuatir masalah rizki, karena Allah akan memampukannya:
وَأَنكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِن يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui” [QS. An-Nuur, 24: 32]
Kalau mau bukti soal jaminan rizki ini, lihat saja sekeliling. Teman-teman yang dulunya satu sendok saja nggak punya, kini setelah menikah mereka bisa punya sendok, piring, motor, bahkan rumah, meski statusnya masih ngontrak.
Assalamualaikum BUJANG… Saya tunggu undanganya jika benar-benar sudah siap menikah. Tapi, jika belum siap, kesibukan Antum dalam dakwah, insya Allah bisa mengalihkannya untuk sementara waktu.(akhwatmuslimah)