Entah dari mana asalnya, masyarakat kita seakan menyepakati bahwa tugas utama seorang istri adalah eksploitasi terkait sumur (nyuci baju, dan pekerjaan bersih-bersih lainnya), kasur (hanya menjadi pelampiasan biologis), dan dapur (seabrek kegiatan memasak demi menuruti hasrat perut suami dan seluruh anggota keluarganya).
Pemahaman ‘sesat’ inilah yang menjadi salah satu sebab malasnya kaum lelaki untuk membantu melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut. Padahal, jika ditilik dari sisi penggunaan tenaga, mencuci baju sekeluarga, merapikan rumah, memasak berkali-kali dalam sehari sepanjang waktu, dan aktivitas kasur, sejatinya adalah kerja ke-saling-an. Bersama-sama. Bareng-bareng, bukan dibebankan kepada salah satu pihak saja.
Keadaan ini diperparah dengan anggapan masyarakat secara umum. Sehingga, suami-suami yang menyucikan baju istrinya, memasak untuk anggota keluarganya, dengan serampangan dipandang sebelah mata, dibully, bahkan dilabeli dengan ‘suami-suami takut istri’.
Duh, malangnya. Padahal, para suami melakukan itu semua dengan kesadaran penuh, keikhlasan terbaik, dan kerja terprofesional. Mereka melakukan itu demi menyempurnakan perintah Allah Ta’ala bahwa suami harus berlaku ma’ruf kepada istri-istri dan anak-anaknya.
Jika hendak diteliti lebih mendalam, sejatinya orang-orang yang nyinyir kepada suami sayang istri jenis ini memiliki tingkat iri yang sangat besar.
Pertama, jika yang membully adalah seorang wanita, barangkali ia amat iri. “Kok, suamiku gak sebaik suaminya ya? Sudah tampan, gagah, mudah, kaya, shalih, rajin membantu istri mencuci dan masak juga.”
Sejatinya, ia berpikir keras hingga sampai pada tahap menyesal. “Padahal, aku lebih cantik dari istrinya. Lebih muda juga. Tetapi, kenapa suamiku gak lebih segala-galanya dari suaminya?”
Kedua, jika kelompok ini terdiri dari kaum bapak, maka ia pun alami iri yang serupa. “Enaknya jadi Fulan. Cinta istri-istri dan anak-anaknya amat besar kepadanya. Hingga, ia meluangkan waktu di luar kerja mencari nafkah untuk mencuci dan memasak.”
“Sedangkan aku,” lanjutnya memelas, “tak miliki sedikit pun alasan. Bahkan, aku semakin malas untuk bersungguh-sungguh mencintai istriku.” Pungkas mereka, “Aduhai bahagianya si Fulan. Istrinya rela menjadi jembatan baginya untuk melangkahkan kaki.”
Agak aneh, ada pula kalangan ini yang berasal dari kaum bujangan. Mereka ikut membully dengan mengatakan, “Kasihan banget, sudah nikah masih nyuci sendiri.” Padahal nih ya, mereka belum merasakan nikmatnya ‘dipijitin’, serunya ‘digelitikin’, syahdunya ngaji bareng, enaknya dilayani, dan seabrek keseruan lain di dalam pernikahan yang diberkahi.
Eh ya, ada juga golongan keempat; mereka yang berpacaran dan sibuk membayangkan. Padahal, pacarnya itu belum terjamin menikahi. Dan, di luar sana, ada begitu banyak ‘saingan’ yang lebih kaya, kinclong, bening, dan baik.
Nah, inilah golongan yang paling merugi. Semoga bukan kalian ya…